Jumat, Agustus 12, 2011

Ketika dia melintas

Beberapa kali mengalami sikap acuh tak acuh dari seorang pria yang sangat saya sukai, membuat saya pada akhirnya memutuskan bahwa saya benar-benar harus melupakannya demi harga diri saya sebagai seorang wanita. Saya memutuskan untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan YME dan menunaikan ibadah Ramadhan saya dengan khusu' tanpa dipengaruhi oleh hasrat untuk memilikinya, fokus menunggu datangnya 'hari kemenangan'.

Bukan hanya menahan lapar dan haus, saya yang tadinya tidak sepenuhnya menjalankan shalat lima waktu mendadak menjadi begitu alimnya, rasanya ada yang kurang jika kelewatan satu waktu saja. Ketika bepergian ke mall, saya merasa sangat risih tanpa menggunakan pakaian tertutup dan jilbab sebagai penutup kepala. Saya juga meyakinkan diri saya bahwa dengan mendekatkan diri kepada Tuhan YME, saya bisa mendapatkan yang lebih dari padanya.

Dalam doa, selalu memohon satu hal, jika ia jodoh saya, mohon dekatkanlah ia pada saya, namun jika bukan, mohon petunjuk dari Yang Kuasa. Saya juga selalu memohon agar Ia menuntun saya ke jalan dimana jodoh saya berada, dan agar jodoh saya pun dituntun untuk menghampiri saya. Karena di usia saya yang sudah 27 tahun saya belum memiliki pasangan hidup sementara wanita seusia saya lainnya sudah menjadi seorang istri dan ibu dari anak-anak mereka.

Apa daya, saya dan pria pujaan hati saya kerja di perusahaan yang sama di Kota Balikpapan. Ketika saya sedang mengamati dokumen yang ada di meja saya, saya merasakan ada sekelebat bayangan yang melintas di hadapan saya, pria yang tinggi dan putih, kemudian menengok sekejap ke arah saya dan tersenyum dengan sangat manisnya. Serrrrr, bak disembur dengan air sorga, hati saya terasa adem, hanya sekejap namun membuat hari saya ketika itu sangat indah. Harapan untuk menemukan pria lain musnah kemudian kembali pada harapan agar bisa dicintai olehnya.

Saya menyebutnya PRIA PLANET MARS, karena sikapnya yang susah ditebak, kadang sangat manis pada saya, namun terkadang pula membuat saya merasa serba kurang (kurang cantik, kurang muda, kurang langsing, kurang PD, bahkan kurang perhatian). Setiap saya berusaha kembali untuk melupakannya karena dia tidak memperdulikan BBM atau apalah yang datangnya dari saya, dia selalu melintas di hadapan saya dengan senyum termanisnya dan permainan matanya yang seakan menggoda hati saya untuk mengikuti kemanapun ia pergi.

Kemudian dalam doa saya di setiap malam hari ia melemparkan senyuman mautnya pada saya, saya selalu menyebut namanya, "Ya Tuhan, kalau memang ia jodoh saya, tolong dekatkanlah, namun jika bukan, kirimkanlah ia untuk saya, sebagai jodoh saya, pria terakhir dalam hidup saya."

Karena yang saya mau hanya kamu, tetap kamu, selalu kamu.

Rabu, Agustus 10, 2011

'Kesejukan' di tengah teriknya Nusa Dua

Nusa Dua ...

Entah apa yang aku pikirkan dulu ketika memilihnya menjadi tempat rantauanku selama 5 tahun lamanya, 4 tahun aja sih rencananya ... jadi 5 tahun karena setahunnya free pass (emangnya karaokean di Inul Vista, heheheee). Tempat yang sangat panas dan gersang, terutama tempat aku bermukim, tempatnya anak kos kere yang cuman ngesot sampe kampus, yaitu bukit Kampial dimana di puncaknya-lah berdiri kampus kami yang luas kawasannya berhektar-hektar.

Di sanalah aku mulai mengenal arti persahabatan, di sanalah aku mengalami perdebatan jiwa karena konflik yang berkepanjangan dengan beberapa pihak yang menyebut diri mereka 'musuh', di sana pulalah aku mulai mengenal cinta dan patah hati, kemudian di sana juga aku mulai akrab dengan yang namanya 'senasib sepenanggungan'. Nusa Dua 2002-2007 ramai dengan riuh tawa kami dan juga banjir oleh air mata kami.

Entah apa yang menyebabkan aku mendadak teringat dengan Nusa Dua dan orang-orang yang terlibat di dalamnya dalam kurun waktu 5 tahun itu. Mungkin karena perasaan yang sedang campur aduk, tak dapat dilukiskan dengan kata-kata, tak cukup diluapkan dengan tangisan, seperti ada sesuatu yang hilang dari dalam diri ini. Sanggupkah aku kembali ke sana ? Kembali ke Nusa Dua ? Jika tidak, sanggup kah aku tetap bertahan di sini ? Di Balikpapan, dimana aku sendiri tak mengerti akan rasa ini ketika aku tetap berada di sini.

Masih jelas dalam ingatanku, panas yang membakar kulit, peluh yang menetes tak henti dari kening yang pucat, kamar yang panas dan lembab ... Nusa Dua oh Nusa Dua ... namun tak lupa pula, sahabat yang selalu ada saat dibutuhkan, menawarkan bantuan sebelum diminta, membantu menghapus air mata di kala duka, menemani tertawa di saat canda, mengisi ruang hampa di dalam jiwa, memberikan pundak sebagai tempatku bersandar.

Beberapa photo yang aku pajang di sini, semoga saja dapat mengobati rasa kangenku dengan Nusa Dua yang panas terik dan para penyejuk jiwaku ini.


















Kumpulan kisah lama

Ketika membuka kumpulan album foto digital alias CD-CD foto yang sudah lawas, tampak beberapa foto kenangan antara aku dan doi masih terselip di dalamnya. Namanya Arif, cowo asal Banjarmasin, yang mempertemukan kami adalah kami sama-sama memilih tempat kuliah yang sama di satu pulau, pulau tempat berkumpulnya para Dewa. Yang lebih istimewa adalah kami satu indekosan. Awal kuliah kami semua berteman akrab, maklum ... masa-masanya ospek 'mau nggak mau' di antara para cama (calon mahasiswa) dan para cami (calon mahasiswi) kudu akur satu sama lain.

Saat itu aku dan seorang raka (kakak pembina ospek) sudah taksir-taksiran dan kemudian selesai ospek kami menjalin kasih. Ia pria Hindu, asli Nusadua, aku memanggilnya dengan sebutan Cit-cit, seperti teman-temannya memanggilnya. Koleksi foto-foto bersamanya sudah aku bakar bersamaan dengan dimulainya hubungan baruku dengan Arif. Hanya tersisa satu foto yang juga terselip di dalam CD-ku ketika awal-awal HP kamera keluar di pasaran, masa-masa N3660-ku.


Dia beda usia dua tahun di atasku. Anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga, dan ia sudah tidak ber-ayah. Perbedaan yang bersifat prinsip tak bisa disatukan oleh waktu atau apapun juga, cinta kami kandas setelah dua tahun menjalin kasih, tanpa masalah apapun aku memutuskan hubungan ini begitu saja, walau akhirnya aku nangis sendiri bak kebo di dalam kamar, dan ribet sendiri menghindarinya, karena ketika itu ia menolak kata putus melalui sms, terus mencariku di kos, kampus, dsb, ia ingin bertemu empat mata denganku, ... sedangkan kalau waktu itu aku mengiyakan untuk bertemu empat mata dengannya, pasti kami tak akan pernah putus, karena aku tak akan sanggup melihat tatapan matanya. Sekarang ia sudah menjadi bapak dari dua orang putri yang masih balita.

Saat aku pacaran dengan Cit-cit, Arif menjadi musuh besarku di indekos, karena ia selalu menjahiliku dengan gayanya yang 'nggak' banget deh menurutku. Garing dan sok eksis! Tapi yah begitulah, benci dan cinta jaraknya hanya sejengkal saja. Ia menjadi sahabat penghiburku di kala aku patah hati, selalu ada saat aku butuhkan, menemaniku kemanapun aku ingin pergi, bahkan ia lah satu-satunya pria yang sempat nginap di UGD ketika kecelakaan motor bersamaku dan korban lebam di wajah ketika membela kehormatanku dari pria-pria mabuk di jalanan.

Sekilas aku ingin mengenang potret kebahagiaan kami ketika itu sebelum aku siap untuk menghancurkan semua CD-CD ini. Yah, foto bersamanya lah yang paling banyak. Karena masa-masa bersamanya, HP kamera sudah menjamur, hanya dengan membawa HP, sudah bisa mengabadikan segalanya, dan aku tak pernah melupakan untuk membawa HP kemana pun aku pergi.








Walau berakhirnya kisah cinta kami bisa terbilang tragis. Mulai dari rasa jenuh yang selalu mewarnai pertengkaran kami, kemudian saling cemburu, dan yang membuat kami benar-benar berakhir adalah jarak yang memisahkan. Ia mengantarkan kepulanganku ke Balikpapan, membantuku mengatasi kesulitanku dalam membawa pulang semua perabotanku, dari mengirim motor jupee-ku melalui suryagita nusaraya (cargo bandara), mengangkat TV-komputer juga perabotanku yang lain, sampai over weight di bagasi 60 Kg yang akhirnya disusutkan menjadi 15 Kg karena keterbatasan uang yang kami bawa. 60Kg = Rp.1.200.000,- seharga tiket pesawat dua orang ketika itu. Wow !

Kemudian setelah seminggu di Balikpapan, mengantarkan kepulangannya ke terminal bus dan itulah akhir dari segalanya. Sebulan setelahnya, yaitu akhir September 2007, hubungan kami berakhir. Mengingat begitu dekatnya hubungan kami dulu. Yah ... 2 pasang nomor kembar ala kami pun berakhir, tersisa nomor As-ku 555 yang menemukan pasangan baru. Inilah potret kemesraan ketika itu yang terakhir saya publish di blog ini. Setelah ini, semua 'tentang'nya musnah. I promise !!!


Annisa siap menerima cinta yang baru, pria dari PLANET manapun yang bisa membuatku jatuh cinta dan bersedia menerimaku apa adanya. Dimanakah kau manusia planet ? ^___^ PRIA PLANET MARS

Selasa, Agustus 09, 2011

'Lagu' patah hati malam rabu

Ketika asa yang melambung tinggi dihempaskan hingga ke dasar lautan, menyebabkan hati yang utuh hancur berkeping-keping, menahan beban rindu, cinta yang tak berbalas, datang dan pergi begitu saja, dia mungkin memang bukan untukku, tapi dapatkah ia mengembalikan cinta yang telah ia curi dariku, agar aku bisa memberikannya kepada yang lebih membutuhkannya ?

Permainan dalam hidup ... permainan cinta, permainan takdir, permainan jiwa ...

Pertama bertemu dan berkenalan ... aku tahu bahwa ia yang aku butuhkan ... dan aku pun selalu siap menjadi sandaran baginya ... menjadi tongkat baginya ketika ia sedang goyah ... menjadi kedua matanya ketika ia sedang tidak bisa menghadapi kenyataan dalam hidup ... bahkan menjadi penguat hatinya agar ia tak pernah merasa takut ...

Cinta itu telah dibawa pergi, namun ia tak pernah menukar dengan cintanya ... dia 'mencuri' dengan ijinku, berhakkah aku menuntutnya untuk mengembalikan cinta itu atau meminta cintanya sendiri ?

Pintu hati sudah tertutup rapat ... melakukan penolakan besar terhadap efek cinta yang tak diinginkan ... bagaimana denganku ? Aku berharap hati dapat terbuka kembali ... dan menerima cinta yang lain agar jiwa ini tak terasa hampa ... tapi aku tak sanggup membujuk hati yang sekeras baja ...

Apa ini jalan hidupku ? HIdup tanpa cinta di hati ... dengan jiwa yang hanya setengah ... tiada yang menemani di sisi ... setelah mengucapkan 'selamat tinggal' kepada dua cinta yang meminta cintaku dan berjanji menukar dengan cintanya, cinta itu kuberikan cuma-cuma kepada cinta yang bukan untukku ... dan ikhlas yang sempat terjadi, berakhir dengan uraian air mata juga ...

'Lagu sedih' ini adalah 'lagu' patah hati malam rabu ...

http://www.sayasedangsedih.com

Senin, Agustus 08, 2011

Manisnya kurma di sore hari

Saya memasukkan sebuah kurma ke dalam mulut dan mengulumnya, menikmati dikit demi dikit dagingnya dan merasakan manisnya di pangkal lidah. Manisnya kurma semanis perasaan saya saat ini, sore hari yang cerah, duduk di balkon rumah sambil menunggu mentari terbenam. Hari ini saya memang sedang tidak puasa karena 'tamu bulanan' sudah menghampiri.

Jarang-jarang karyawan bank seperti saya sudah berada di rumah sebelum hari gelap. Moment seperti ini tentu saja tak ingin saya lewatkan begitu saja. Sepulangnya dari rumah tepat jam 5 sore tadi, saya tak ingin membuang-buang waktu lebih lama, saya menghabiskan waktu hanya lima belas menit untuk mandi dan berpakaian, kemudian membawa cherry ke balkon rumah, menikmati matahari sore dan angin sepoi-sepoi, menulis blog diiringi nyanyian-nyanyian rohani dari masjid dekat rumah saya.


Sweet monday ... mungkin baru kali ini saya merasakan bahwa hari ini bukanlah 'monster day' melainkan 'monumental day', yaitu hari peringatan untuk perasaan saya yang sedang sangat manis di hari senin. Pohon mengkudu, pohon mangga yang sangat lebat daunnya, pohon kelapa dengan nyiurnya yang melambai-lambai dan buahnya yang berwarna orange, menambah sejuk perasaan saya.



Pemukiman kampung yang sangat padat, berbagai bentuk rumah, dari yang minimalis dengan balkon yang sangat luas namun kering, hanya terlihat anten parabola berwarna karat (atau memang uda karatan ya? heheee). Kemudian rumah tingkat dua dengan balkon yang agak lebih kecil, tampak seperti gudang, terlihat penuh dengan barang tak terpakai, dan jemuran pakaian, tampak si empunya rumah sedang mengangkatin pakaian-pakaian tersebut. Ada juga bangunan yang rasanya sudah dari setahun yang lalu direnovasi, tapi belum selesai-selesai. Sisanya hanya terlihat atap yang sambung-menyambung karena terlalu padat dan hanya satu lantai.

Di kejauhan terlihat bangunan-bangunan tinggi, menyolok di antara kawasan padat penduduk, hotel-hotel yang sangat indah dan paling terang di malam hari. Dari hotel bintang tiga sampai hotel bintang 5.  Kemudian yang selalu meramaikan suasana bulan ramadhan di kampung kami adalah sebuah bangunan ber-cet peach dipadu dengan hijau, masjid Al Mukhayar, kebetulan kemarin adalah giliran keluarga saya mengantar tajil ke sana.



Tak terasa sudah hampir sepuluh buah kurma sepanjang tulisan saya kali ini, saya menghitung biji-biji yang saya letakkan tepat di samping saya duduk, ada delapan buah. Walau hanya sesaat duduk di balkon, hari sudah mulai gelap, namun saya tak akan pernah melupakan rasa yang begini manisnya, rasa kurma di sore hari.


Minggu, Agustus 07, 2011

Dari jendela kamar saya

Bangunan mini berdinding cet warna cream, beratap seng warna merah, dengan teras yang cukup luas dan teduh di tengah panasnya matahari jam 12 siang di Kota Balikpapan. Saya membayangkan seorang pria berusia hampir 70 tahun sedang membaca koran di teras itu, seorang wanita yang berusia lebih muda sedikit darinya sedang mengobrol di depan televisi bersama seorang wanita berusia sekitar 30an tahun, dan seorang gadis remaja sedang menonton DVD kesayangannya seputar kehidupan remaja Korea masa kini di dalam kamarnya. Sementara seorang wanita tua yang terlihat pucat sedang tidur pulas di dalam kamarnya. Sebuah rumah adalah tempat berlindung dan berkumpul sebuah keluarga. Saya yang sedang asyik bersama 'Cherry', laptop kesayangan saya, sambil sesekali menengok ke arah jendela kamar saya yang tirainya sudah sengaja saya singkap agar saya bisa leluasa mengamati segala sesuatunya.

Saya bisa menggambarkan kondisi keluarga yang berada di dalam rumah mungil itu karena, itu adalah rumah kakek saya, dimana di dalamnya terdiri dari kakek, nenek, tante Nelly, adik sepupu saya si Lini, dan juga nenek kecil saya (panggilan kepada kakak perempuannya nenek) yang memang sedang sakit.

Beralih pada pepohonan yang hijau, membuat hati dan pikiran menjadi sejuk, walau mentari memancarkan cahaya dengan sangat terang membuat peluh pada dahi seseorang tak berhenti mengalir. Pandangan saya tertuju pada pohon pisang yang berada di sudut lapangan di samping rumah nenek. Hijau dan lembut daunnya pasti membuat ulat betah meliuk-liuk di dedaunnya, mencari tempat yang pas untuk membuat sarangnya menyerupai gumpalan kapas dan bergelantungan dengan nyamannya (kepompong), kemudian yang lainnya sudah terbangun dari tidur panjang dan mengepakkan sayapnya yang indah berwarna-warni (kupu-kupu), terbang ke sana ke mari.

Mobil-mobil yang terparkir di lapangan itu seakan teriak kepanasan, merasa lembab dan tak dapat bernapas dengan lapang. Mobil-mobil itu adalah milik beberapa anak kos yang tinggal di rumah saya dan milik orang yang ngontrak rumahnya tante Renny yang lokasinya juga tak jauh dari rumah saya. Ia pasti sudah teriak memanggil-manggil si empunya, "Furqan, engkau puasa berteduh di dalam rumah, bagaimana denganku?", yang lainnya kemudian menyusul dengan keluhannya juga, "Pak Supiyan...bisakah aku ikut tidur bersamamu di kamar ber - AC itu?"

Semakin dekat dengan rumah saya, saya memandang pohon kedondong dengan buahnya yang masih berwarna hijau terang bergelantungan, sementara yang sudah kering berjatuhan di sekitarnya. Di sampingnya berdiri tegak pohon sirsak yang tidak begitu tinggi, dan sangat jarang berbuah.

Mayang, si belang tiga, kucing tercantik di kampung ini tengah mengendap-endap di rerumputan, tampak ia menggendong bayinya dengan moncongnya, entah kemana lagi akan dia bawa bayi-bayinya setelah seminggu berada di teras rumah kami.

Banyak sekali yang bisa dilihat dari jendela kamar saya ini, dan saya lukiskan dengan pikiran saya sendiri, kemudian saya tuangkan dalam bentuk tulisan di blog, hingga kalian yang berkunjung dapat ikut menikmati hasil pandangan dan bayangan saya ini.

Saya sendiri di dalam kamar, bertemankan laptop bernama Cherry, dan pemandangan yang terlihat dari jendela kamar saya sedikit menyingkirkan rasa jenuh dan kesepian dari diri saya. Melihat Mas Rajab dengan wajah lelahnya memarkir taxy bandara, tempat ia mencari nafkah untuk menghidupi anak dan istrinya, melihat seorang ibu yang keberatan membawa barang belanjaan atau apa entahlah, kemudian sang ànak yang masih sangat belia membantunya, melihat seorang pria paruh baya yang lari tergopoh-gopóh di jalanan turun di samping rumah saya tersebut, dan masih banyak orang yang bisa saya amati.

Jendela kamar saya sesungguhnya adalah potret kehidupan saya. Terlihat sangat tenang, namun banyak cerita di dalamnya.