Jumat, September 02, 2011

Buat Kau Indonesiaku ...

Puisi ini saya copy dari 'note' di facebook saya yang saya tulis beberapa saat yang lalu, yang menggambarkan betapa bangganya saya pada TimNas, walau kalah di final, namun mereka tetap pemenang bagi kami.

Tadi malam saya sedikit kecewa dengan TimNas karena Iran begitu mudahnya mencuri gol dari kalian. Namun setelah membaca puisi ini, saya teringat kembali gol demi gol yang sempat kalian ciptakan di pertandingan-pertandingan sebelumnya, dan hal ini membangkitkan kepercayaan saya lagi terhadap kalian.

Berikut adalah lukisan kebanggaan hati saya terhadap TimNas ketika itu, dan sampai sekarang pun rasa bangga masih tersimpan di lubuk hati yang paling dalam.


HomeProfileFriendsMessages

Buat kau Indonesiaku ...
By Annisa Tang

Sampai final bukan perkara gampang ...

Bukan karna Gonzalez, bukan krn Bachdim, BP, Okto, Bustomi, Firman, juga Markus ...

Melainkan kalian adalah TimNas ...

TimNas RI, kebanggaan kami ...

 'Sporty' harus selalu diawali dengan prinsip SPORTIF ...

Dan kami melihatnya saat kalian mulai membusungkan dada dan menyanyikan lagu 'Indonesia Raya' ...

Saat kalian mulai berlari dan peluh membasahi kening ...

Kami tahu bahwa kalianlah PEMENANGnya ...

Garuda tak terkalahkan ...

Karena selalu berpegang teguh pada PANCASILA ...

Tak perlu bersembunyi di balik sinar laser dan serbuk gatal ...

Maju terus pantang mundur ...

Malam ini kami bangga pada kalian ...

TimNas Indonesia ...

You are The Win !!!

January 1 at 6:31am · 12 · Unlike · Edit · Delete
You, توفيق إدي برينو and 10 others like this.

Aryanto Pratowo HIDUP...GARUDA....!!
Dec 29, 2010 · Like · Remove

Hey Kau ... !!!

Balikpapan, September Rain.

Hey Kau !!!

Tahukah kau apa yang kupikirkan saat ini ?
Apapun itu, semuanya adalah tentang kamu !
Ya kamu ! Semuanya hanya kamu !
Tak tahukah kamu atau tidak mau tahukah kamu ?

Tahukah kau apa yang kurasakan saat ini ?
Sakit ! Karena aku tidak tahu kabarmu hari ini.
Kangen ! Karena cukup lama kita tidak bersua.
Pilu ! Karena aku tak tahu apa yang kau rasakan padaku.

Tahukah kau bahwa hanya kau yang kuharapkan ?
Orang pertama yang ingin kulihat ketika membuka mata di pagi hari.
Orang pertama yang menanyakan kabarku hari ini.
Namun orang terakhir yang ingin kulihat di malam menjelang tidurku.

Kau ! Kau ! Dan kau ! Kau lagi !
Dan malam ini, lagi-lagi aku merasakan rindu padamu.
Ingin berada di sampingmu, selalu dengan kamu.
Tak perduli bagaimana kondisimu, yang kumau hanya kamu.

Ketika kau mulai ingat untuk menanyakan kabarku.
Ketika kau mulai rindu untuk bertemu denganku.
Ketika kau mulai merasakan hal yang sama denganku.
Aku masih di sini menunggu, hanya untukmu.

Kamis, September 01, 2011

Jangan marah padaku, Sahabat.

Dear sahabat,

Jangan marah padaku ...
Diammu membuat pilu hatiku
Cuekmu membuat gelisah hatiku
Hilangmu membuat resah hatiku

Jangan marah padaku ...
Ketika aku menolak berdua denganmu
Ketika aku tak membalas pesanmu
Ketika aku mengabaikan telpon masuk darimu

Jangan marah padaku ...
Karena aku adalah sahabatmu
Tempatmu berbagi suka dan duka
Aku sayang kamu

Jangan marah padaku ...
Bukan karena aku tak menginginkanmu
Bukan karena aku tak menyukaimu
Bukan karena aku benci padamu

Jangan marah padaku, Sahabatku ...
Sampai kapanpun aku adalah sahabatmu
Walau cintaku bukan untukmu
Tapi posisimu tak tergantikan

Maaf karena kebersamaan ini menyakitkanmu

Senin, Agustus 29, 2011

Fang Fang

Membaca judul di atas pasti kalian sudah menduga kalau judul itu menggunakan nama seseorang. Yah, namanya Fang Fang, perempuan keturunan Tiong Hoa campur Jawa, dan marganya adalah Tang, sama dengan saya. Secara langsung saya belum pernah bertemu dengannya, mungkin ketika kecil dulu pernah dan itupun saya sudah lupa tampangnya seperti apa, namun dalam hal hubungan darah, kami cukup dekat karena ia adalah anak dari kakak laki-laki papa saya, dengan artian kalau ia adalah sepupu sekali saya.

Saya memanggil Oom saya itu dengan sebutan Apek, ia sudah almarhum sejak beberapa tahun yang lalu. Apek menikah beberapa kali, anak Apek yang paling dekat dengan saya adalah koko Ahok, karena ia sudah ikut dengan keluarga saya sejak baru lulus SMP. Ibu kandung koko Ahok adalah wanita Batak yang tinggal di daerah Sibolga. Kemudian Apek ada beberapa kali menikah; ada dengan wanita India, Jawa, dan juga sesama Chinese. Nah, Fang Fang adalah anak kedua dari seorang wanita Jawa yang dinikahi oleh Apek.

Baru-baru ini Fang Fang ada menghubungi papa saya, mengabari kalau ia sekarang berada di kawasan transmigran di Kalimantan Tengah mengikuti suaminya, ia mengetahui nomor HP papa pasti dari la'ko (kakak perempuan papa yang berada di Jakarta). Sewaktu saya dan mami berlibur ke Jakarta, kami sempat bertemu dengan chi-chi Amey di rumahnya di daerah Muara Karang, ia adalah salah seorang anak la'ko, dan mengalirlah cerita dari mulutnya kalau Fang Fang sempat tinggal di rumahnya, dan mau dikursuskan salon agar bisa membantu chi-chi Amey di salon miliknya, tapi Fang Fang selalu lari ke dapur untuk mencuci piring. Kemudian chi-chi Risa, kakak sepupu saya juga, diceritakan oleh chi-chi Amey, sempat mau mengajak Fang Fang untuk tinggal bersamanya di Australia dan dijodohkan dengan bule Aussie, Fang Fang menolak dengan tegas.

Fang Fang jatuh hati dengan seorang buruh bangunan yang ketika itu bekerja pada tetangga chi-chi Amey, lalu mereka pun menikah. Chi-chi Amey tak habis pikir akan jalan yang dipilih oleh Fang Fang. Tapi kalau cinta sudah berbicara, pertanyaan seperti apapun tak akan ada jawabannya.

Kembali pada Fang Fang, dia berbicara dengan papa melalui telepon seperti sudah lama mengenal papa, sempat saya menguping pembicaraan mereka, terdengar akrab. Fang Fang merayakan lebaran juga sama seperti kami, namun ia merayakan lebaran sehari sebelum kami yaitu pada tanggal 30 Agustus 2011. Kemudian papa mengenalkan Fang Fang pada mami, ia juga menanyakan kabarku pada mami, dan ia menangis pada mami. Ia bercerita pada mami kalau ia hanya lulusan SD, ia berkata ingin seperti saya yang bisa sekolah tinggi sehingga bisa bekerja di bank. Apek memang semasa hidupnya kurang memperhatikan anak-anaknya, oleh karena itulah koko Ahok dulu tinggal bersama kami agar bisa mendapatkan pendidikan yang layak. Apa daya, Fang Fang luput dari kami, karena ketika Apek meninggal dunia, kami pun sedang mengalami krisis moneter. Semoga alm Apek tidak merasa terganggu dengan diceritakannya kisah ini.

Fang Fang cerita tentang kondisi dirinya yang hanya menghidupi diri dengan bertani, ia sudah memiliki seorang putri, dan di musim kemarau ini, ia harus setengah mati menggarap sawahnya. Ibunya sedang sakit dan masuk rumah sakit di Jawa, sedangkan kakak lelakinya tidak begitu peduli. Kakak lelakinya itu memang sempat terkena kasus pencurian di rumah seorang kerabat kami juga di Jakarta.

Hati saya terenyuh juga mendengar kisahnya. Saya belum sempat bertemu dengannya, namun saya sudah merasa cukup dekat dengannya. Sebagai wanita dewasa yang sudah wajib zakat, saya merasa alangkah baiknya jika penerimanya itu adalah dia, dan ketika saya menelponnya untuk memastikan apakah kiriman saya sudah sampai atau belum, ia terdengar seperti wanita yang santun, walau pendidikannya tidak memadai. Dan jika suatu saat saya mendapat rezeki yang lebih lagi, saya sudah tahu harus membaginya pada siapa. Tetap menjadi wanita yang kuat ya ... saudariku Fang Fang ...

Minggu, Agustus 28, 2011

Oom korannya Oom ...

Sibuk jungkir balik mencari remote televisi di kamar saya, mulai menyelidik ke seluruh ruangan sampai guling-guling di tempat tidur (untuk merasakan ada atau tidaknya benda di balik springbed yang cukup tebal), dan kemudian malah menemukannya terselip di belakang laptop yang sedang saya gunakan untuk menulis blog saat ini.

Niat meneruskan menonton acara Mario Teguh Golden Ways yang sempat saya tonton sebentar di ruang keluarga, dan kebetulan memang acara favorite saya dan keluarga, setelah menekan tombol power dan mengganti-ganti channel guna mencari channel Metro TV, saya malah berhenti menekan remote ketika melihat sekilas acara religi yang ditayangkan oleh trans TV.

Tak terlalu mengerti mula cerita, yang saya lihat hanya seorang pemuda yang nampak terburu-buru untuk pergi solat Ied, entah karena telat bangun atau apa, yang jelas ia tampak sangat kewalahan mencari atributnya (peci) untuk pergi solat. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang bocah berusia sekitar 13 tahunan berkulit hitam legam dan berambut keriting (lihat perawakannya seperti orang dari daerah Timur Indonesia) sambil membawa koran.

Bocah lelaki itu sibuk mencegat pemuda yang sedang terburu-buru tadi sambil menawarkan korannya, "Oom, korannya Oom.". Pemuda itu menjawab dengan jutek, "Tidak, saya sedang terburu-buru.". Si bocah masih keukeuh mengikuti pemuda itu sambil menyodor-nyodorkan korannya, "Oom, korannya Oom.". Melihat si bocah terus berada di sekitarnya sehingga membatasi ruang geraknya yang sedang ingin segera sampai ke tujuan, pemuda tadi murka dan membentak si bocah, kemudian meninggalkan si bocah yang masih menyodorkan korannya.

Sesampainya di lokasi solat Ied, si pemuda baru sadar kalau ia lupa membawa sajadah. Tiba-tiba di belakangnya sudah ada bocah berkulit hitam tadi sambil menyodorkan korannya kembali, "Oom, korannya Oom.". Pemuda itu sudah siap membentak lagi hingga kemudian terdiam ketika si bocah membentangkan korannya di lantai, lalu berkata, "Dengan koran ini, Oom bisa melaksanakan solat Ied. Silakan Oom.".

Si pemuda tertegun sejenak namun kemudian bertindak sesuai perkataan si bocah. Sementara bocah itu terus mengamati jamaah solat Ied sambil tersenyum dari belakang. Seusai solat Ied, jamaah saling bersalam-salaman lalu bubaran, si bocah memunguti koran-koran bekas yang digunakan untuk para jamaah solat barusan. Si pemuda menghampiri si bocah lalu meminta maaf, "Maaf ya, saya pikir tadi kamu jualan koran.". Bocah itu tersenyum, "Tidak apa Oom.". "Oh iya, kamu suka opor nggak?", tanya si pemuda itu yang kemudian diiringi dengan anggukan dan senyuman manis si bocah. "Kalau begitu, habis ini kamu ke rumah saya ya, kita makan opor. Sini saya bantu kamu.", kata pemuda itu pada akhirnya sambil membantu si bocah memunguti koran.

Cerita ringan itu membuat air mata saya mengalir tanpa saya sadari. Bukan karena sedih, melainkan karena rasa haru saya melihat akhir yang begitu indahnya. Ketika memiliki awal yang buruk, alangkah baiknya jika berakhir dengan tanpa dendam dan saling memaafkan. Dan kalimat bocah itu, masih membayangi saya hingga blog ini saya tulis, "Oom, korannya Oom.". Karena kalimat itu diucapkan berdasarkan dari hati yang tulus ikhlas.