Sabtu, Oktober 29, 2011

Didera penyesalan akibat dosa

Tanggal 28 Oktober 2011 aku dan keluarga besar mengantarkan kakek yang akan menghajikan almarhumah nenek buyut yang tak lain adalah ibu kandung dari kakek yang meninggal pada tanggal 02 Desember 2000 saat dimana KM Fudi memberangkatkanku ke Surabaya, kemudian melanjutkan perjalanan ke Pulau Dewata, untuk survey kampus yang konon akan menjadi tujuanku melanjutkan pendidikan selesai SMU.

Seusai solat Jumat, aku dan keluarga mengantarkan kakek ke Benua Patra untuk menyelesaikan segala urusan administratif. Entah ada perasaan yang lain saja ketika melihat kakek berjalan meninggalkan kami dan masuk ke dalam gedung. Perasaan tambah campur aduk melihat seorang kakek yang menggunakan kursi roda dan seorang nenek yang sudah tua renta mendampingi, menggunakan seragam yang sama juga dengan kakek dan juga memasuki gedung yang sama, ada rasa haru yang tak terkira. Sedih melihat tatapan nenek yang terus memandangi kakek sampai kakek menghilang dari pandangannya. Beberapa tahun yang lalu, ketika aku dan adik-adik sepupuku yang hanya selisih setahun dua tahun denganku masih di Sekolah Dasar, kami sempat mengalami perasaan ini, tapi tak seharu saat ini, karena ketika itu kakekku masih gagah, setidaknya keriputnya tidak sebanyak saat ini dan nenekku masih kuat berdiri tegak dan berjalan di samping kakekku dengan gagah, kemudian kembali ke tanah air membawa predikat haji dan hajjah. Sekarang kakek pergi seorang diri untuk memberangkatkan nenek buyut (alm).

Mamiku menangis tersedu-sedu dan aku memeluknya, tapi tanpa sadar air mataku ikut mengalir. Apalagi mengingat kakekku yang sangat perhitungan, tadi sebelum masuk ke pagar kawasan Benua Patra, tiba-tiba memberikan pada Adit, adik sepupuku yang paling bontot selembar uang seratus ribu. Dalam hati selalu berdoa, semoga perjalanan kakek ke tanah suci lancar-lancar saja.

Setelah lama berdiri di depan gedung Benua Patra, kami sekeluarga (2 mobil ketika itu) memutuskan untuk mendahului ke asrama haji. Sesampainya di sana, kami bertemu anak kucing tiga ekor yang sedang tidur saling menghangatkan satu sama lain. Aku dan Oom Denny sibuk memotret anak-anak kucing yang lucu itu. Tiba-tiba adikku dengan gayanya yang menyebalkan tanpa etika dan sikap 'tak penting'nya itu mengusik anak-anak kucing itu dengan senggolan kakinya yang cukup kasar sehingga pada anak-anak kucing itu pada bangun dan ngacir ketakutan. Aku langsung membentaknya dan mengatakan padanya kalau sampai anak-anak kucing ini kelindas mobil itu sebagian besar adalah kesalahannya.


Lucu sekali anak-anak kucing itu. Aku dan Lini sempat berfoto bersama mereka. Kemudian kami sempat melupakan mereka sesaat, kemudian sibuk menghabiskan rasa bosan kami dengan berfoto sambil menunggu kakek datang ke asrama dan bisa menghampiri kami walau bentar di luar asrama. Setelah menunggu lama, bahkan tak terasa hari sudah sore, tante Renny menelpon kakek menanyakan kabar, ternyata kakek benar-benar tidak bisa keluar dari asrama walau sebentar. Akhirnya kami memutuskan untuk meninggalkan asrama haji. Kakek berangkat ke tanah suci jam sebelas malam.

Dan inilah akhir dari cerita ... oom Denny tak sengaja memundurkan mobil tanpa mengecek keadaan di bawah mobil, seekor anak kucing terlindas oleh ban mobil dan glepar-glepar di jalanan. Aku yang berada di dalam mobil yang berbeda dengan yang dikendarai oom Denny dapat melihat dengan jelas kejadian itu. Terucap kalimat "astaghfirullah" dari bibirku dengan pandangan yang tak lepas dari si anak kucing seakan aku ikut merasakan sakitnya si kecil itu, air mata tak berhenti mengalir beriringan dengan kalimat "astaghfirullah" yang terus mengalir dari bibirku ketika itu.

Ampuni segala dosa kami ya Allah. Kami semua didera rasa bersalah. Aku yang terus menyalahi diriku sendiri karena kurang perhatian terhadap anak kucing itu sehingga tidak menyadari keberadaannya terlebih dahulu di bawah mobil, dan aku tau oom Denny yang sangat menyukai kucing pun pasti merasakan hal yang sama. Kami pasti telah berbuat kesalahan (dosa) yang sedemikian tak termaafkanNya sehingga kami diberi sebuah rasa penyesalan dan bersalah yang terus kami bawa sampai mati, terutama aku yang tak mudah lepas dari rasa sesal.

Ya Allah, tunjukkanlah kami akan kesalahan yang kami perbuat tanpa kami sadari agar kami bisa segera memperbaikinya. Sepanjang jalan kami terus berdoa semoga mobil yang dikemudikan oom Denny dari Batakan sampai ke rumah baik-baik saja karena berdasarkan mitos, setelah menabrak kucing, bisa terjadi hal yang lainnya (yang tidak berani aku sebutkan, astaghfirullah jangan sampai ... jauhkan bala ...). Kami juga terus berdoa semoga perjalanan kakek ke tanah suci baik-baik saja.

Berdasarkan cerita, anak kucing itu meninggal di pangkuan tante Tati, istri dari oom Denny, dalam perjalanan dari asrama haji ke rumah, dan dikubur di pekarangan rumah nenek. Dan aku terus menyalahkan adikku sendiri juga karena telah mengusik tidur si anak-anak kucing itu sejak kami baru saja menginjakkan kaki di kawasan itu. Dalam artian, sejak awal kedatangan kami saja, kami adalah petaka bagi keluarga kuning yang bahagia itu. Dan air mata saya mengalir kembali dengan ditulisnya blog ini. Bayangan anak-anak kucing yang masih tidur, hingga salah satunya menggeliat-geliat kesakitan masih terus terbayang dalam benak saya. Ampuni kami ya Allah.