Jumat, Oktober 30, 2009

Rasa sesal

Ada seekor anak kucing dibuang di muka rumahku.Sepanjang malam mengeong tak henti,berjalan tak tentu arah sampai di persinggahan terakhirnya yaitu di belakang rumahku (benar-benar persinggahan terakhirnya).

Pagi hari yang cerah aku mandi keramas,blow rambutku yang masih basah,masih pula kudengar suara kucing yang mengeong itu.Aku mengintipnya dari teras atas kamarku,anak kucing itu terus mengeong,mondar mandir mencari induknya.

Tergerak hatiku ingin memungutny,namun kemudian kuurungkan niatku itu mengingat papaku sedikit terganggu dengan hadirnya banyak kucing di halaman rumahku.Saat itu juga kebetulan ada ibu-ibu gendut bersepeda motor yang sedang melihat rumah kontrakan nenekku.

Masih mondar-mandir ga jelas antara mau mengambil naik anak kucing itu atau hanya sekedar mencarikannya wadah untuk mengantarkanny susu demi menyelamatkan sedikit dari rasa lapar,aku dengar suara gaduh dari luar.

Ibu gendut itu sibuk minta-minta maaf pada mami,mendadak jantungku berhenti berdetak melihat sang anak kucing yang sudah tergelepar tak berdaya tepat di belakang ban motor si ibu gendut.Sontak aku ambil langkah seribu menuju TKP.Dengan tangan gemetar aku ambil anak kucing yang masih kejang-kejang mengeluarkan darah terus-terusan dari mulutnya.Ternyata ia terlindas tepat di lehernya.

Walau rasa tak mungkin,pertolongan pertama tetap kami coba lakukan dengan meminumkannya cairan tulang harimau,namun apa daya anak kucing itu menghembuskan nafas untuk yang terakhir kalinya.Air mataku tak berhenti mengalir karenanya,diselimuti rasa sesal yang begitu mendalam.

Penuh kata 'seaindainya' dalam hati.Seandainya saja aku tegas,langsung membawanya naik tanpa banyak pikiran antara sebab-akibat.Seandainya saja aku tak terlalu memikirkan ucapan orang atas perbuatan baik yang aku lakukan.Seandainya saja aku selalu mengikuti hati nuraniku,mungkin aku tak pernah menyesal.

Kami menguburkan anak kucing itu di dekat kuburan Kitty dan adik tiri Kitty yang belang tiga loreng.Kali ini adalah kematian tragis kucing yang pernah aku saksikan.Bukan hanya tragis baginya,tapi juga tragis bagi hatiku,sakiiit banget,mungkin juga tragis bagi ibu-ibu gendut tadi karena tanpa sengaja telah menjadikannya seorang pembunuh.

Kadang aku berpikir,mungkinkah Tuhan ingin menghukumku atas dosa-dosa yang pernah aku perbuat sehingga membuatku menjadi orang yang yang selalu mengambil keputusan yang salah yang membuatku menjadi sangat menyesal.Apalagi tadi malam seorang rekanku yang datang berkunjung ke rumahku mendoakanku agar mendapatkan rezeki yang banyak karena suka memberi makan kucing,ketika melihat banyak kucing di rumahku,ternyata hari ini seekor anak kucing malah mati tragis di sekitar rumahku.Ya Allah,maafkanlah aku,jangan buat aku merasa menyesal lagi karena sesuatu hal,jangan hukum aku seperti ini.

Selasa, Oktober 27, 2009

Party ala BunCit





Ini nih party ala BunCit ... BCL ... alias, Bunga Citra Lestari ...
Ketika masih lajang tentunya ...
Tp ini jg kudapat dari kawan sih...imel beruntun alias hasil forward sana-sini...
Tau deh mereka dapet darimana, tapi oke juga buat koleksi, secara BunCit tuh cantik banget.
Waaah...jadi pengen party nih!!!

Senin, Oktober 26, 2009

Latest edition bra ...

Ini nih model bra terbaru...
Limited edition!!!
Wak wak wakkk...
Ada-adaaa aja...





Minggu, Oktober 25, 2009

Indah bila kukenang

Taraaa...setelah lama tak memotong rambut menjadi sangat pendek...akhirnya aku melakukannya lagi kemarin, Sabtu 24 Oktober 2009. Potong rambut ala Yuanita 'take me out' host kulakoni juga. Ini mengingatkan aku saat-saat kuliah dulu, aku yang biasanya pergi berdua dengan sobat kentalku, Jill Joy de Queljoe (ahaaa, lengkap namamu Jill tak tulis...), si nona Ambon manise, kala itu di siang hari yang terik, di tengah ke Be Te-an dan kesendirianku di dalam kamar kos DW29X Nusa Dua, kosku di bukit nan kering, muncul ide dalam benakku...berbekal motor Jupee-ku tersayang, helm dan jaket andalan, aku pergi hang out ke Mall Bali Galleria di Simpang Siur, by myself alias alone!

Saat itu entah sedang terjadi masalah dalam bathinku, mumetnya pikiranku, ditambah kondisi kos yang sedang sepi...nyanyi teriak-teriak dalam kamar sudah bosan aku kerjakan sehari-harinya...Sesampainya di Mall Bali Galleria, aku berjalan kesana-kemari bak anak hilang, ke hypermart (so pasti!), ke matahari, liat film di twenty one pas ga ada yang bagus, sampai aku kehabisan tujuan. Sampai ketika aku melewati Jhonny Andrean, mengingat rambutku yang modelnya sudah terlalu monoton, mengingat usiaku yang masih terlalu muda untuk terus mempertahankan rambut panjang bak mbok-mbok, aku memutuskan untuk memotong rambutku pendeeek sekali, hampir kayak cowok-lah...xixixixixiii...

Sempat shock juga melihat wajahku di kaca...beda 180 derajad! Seperti bukan diriku, aku yang biasanya anggun dengan rambut panjang lurus tergerai, mendadak menjadi rada emo Jepang dengan rambutku yang sangat pendeknya. Oh my gosh! Tapi tak apalah pikirku, itung-itung buang sial,...semoga aja pikiranku ga penuh lagi, hatiku plong, dan juga jiwaku kembali berkobar.

Sesampainya aku di kos, aku menggedor kamar Jill. Yaaa, kalian yang mengenal kami berdua pasti langsung dapat membayangkan ekspresinya dan tahu betapa cemprengnya suaranya meneriakkan kegilaanku. Di kos yang sepi kala itu, suara kami berdua saja yang terdengar riuh, sejenak aku bisa melupakan masalah yang sedang melandaku saat itu.

Entah saat-saat itu bisa terulang kembali atau tidak. Yang jelas, aku memotong rambutku kali ini, bukan karena masalah yang memburuku, bukan karena kesendirianku (padahal, justru kali ini aku lagi jomblo), tetapi...hanya karena sanggul! Hahaaa...pasti kalian berpikir akan hubungannya antara sanggul dan potong rambut...yaitu karena kantorku sekarang mengharuskan kami yang berambut panjang untuk menyanggul rambut kami. Dan karenanya, hampir setiap hari rambutku termakan oleh karet gelang (banyak sekali), sedangkan rambutku panjang, tebal dan cukup indahlah (menurutku khannn???), sayang kalau harus rusak hanya karena sanggul!!!

Kita lihat saja, apa komentar orang-orang mengenai perubahan rambutku setelah aku upload fotoku before dan after di blogku ini, maupun di facebook. Yang jelas tak akan sama dengan riuhnya suasana kami sesama anak kos2an...seperti saat suatu ketika aku pergi ke salon bersama Jill di Jhonny Andrean Ramayana Mall Bali, aku potong rambut (rencananya sih bob nungging kruis-kruis ala Nirina Zubir saat itu) sedangkan Jill hanya Hair Spa sambil menemaniku potong rambut.

Kemudian, setelah potong rambut, kami yang memang janjian dengan dua rekan kami Arif dan Dimas, menunggu mereka sambil makan di food court, sambil terus mengeluhkan kekesalanku pada si mbok tukang potong rambut yang sangat tidak profesional dan hasilnya sangat jauh dari bayanganku. Dan benar saja, masih di ujung escalator, Dimas yang melihatku dari kejauhan langsung tertawa terbahak-bahak dan memanggilku 'Dora'. Whuaaa...Saat-saat itu yang sangat memalukan, tapi ternyata kangen jika kukenang saat ini...

"Would you marry me?"

Berada di antara mereka yang telah menikah, aku merasa sedikit minder, mengingat usiaku yang sudah seperempat abad. Bukan hanya karena aku belum menikah, melainkan karena pacar pun aku belum punya. Bukan karena aku terlalu pilih-pilih, melainkan memang belum ada pria yang benar-benar dekat denganku saat ini. Di samping itu, kedua orang-tuaku yang 'serba berlebihan' membuatku selalu takut mau menjalin hubungan dengan seorang pria. Padahal mamiku paling suka mengatakan hal-hal yang sensitive bagi wanita seusiaku yang membuatku semakin merasa minder, entah mengataiku 'jomblo forever'-lah, 'stres karena jomblo'-lah, dan sebagainya, disamping itu juga selalu mendesakku untuk segera menikah dan ingat sama umur. Bingung juga dengan sikap mamiku. Apalagi tak ada lelaki 'yang beres' di mata papaku. Lama-lama aku berpikir, mungkin mereka memang senang kalau anaknya tak ada yang menikah. Walau selalu cool tampangku, tapi rasa bimbang ada juga terbersit di hatiku.

Pernah suatu waktu papa berkata pada adik lelakiku ketika adikku meminta uang untuk pergi malam mingguan bersama teman wanitanya, "Kalau tidak ada uang, tak usah pacaran dulu!". Kata-kata itu mengingatkanku pada kakak tiriku (anak papaku dari Ibu yang lain), yang telah menikah (dalam keadaan miskin), bahkan telah memiliki 4 orang anak! Dan juga masih selalu ingin melibatkan keluarga kami dalam keadaan miskinnya, untungnya kami juga hidup tak serba berlebihan sehingga si doi tak bisa terlalu merepotkan keluargaku. (Kata-kata papaku itu lebih pantas disampaikan pada kakak lelakiku itu sepertinya)

Kembali lagi padaku. Impian seorang wanita untuk segera menikah adalah tentu saja kalau bukan masalah memiliki bayi, selain karena risih rong-rongan para nenek-nenek sok tahu di sekitarku. Saat ke Bali bulan Mei kemarin, aku mengunjungi seorang kawanku sejak SMU sampai sama-sama berkuliah di Bali hingga akhirnya ia menetap di Bali dan menikah dengan seorang bule Australia. Ia telah memiliki seorang bayi perempuan yang sangaaat lucu. Melihat bayinya, terbersit rasa iri di hatiku. Belum lagi berjumpa dengan sahabatku semasa kuliah yang telah memiliki dua orang anak balita laki-laki yang tampan-tampan. Sempurnalah hidup mereka karena telah menjadi seorang ibu.

Harusnya aku memang tidak perlu merasa terlalu malu akan status lajangku, mengingat aku adalah seorang wanita pekerja, namun impian terbesar dalam diriku adalah merasakan menjadi seorang ibu. Memiliki sepasang anak, lelaki dan perempuan, sudahlah cukup bagi diriku. Membesarkan mereka dengan kasih sayang, mengajarkan berbagai hal dalam hidup ini, menjadikan mereka anak-anak yang penuh percaya diri, dan sebagainya. Tapi tak mungkin juga semua dilewati tanpa menempuh jenjang pernikahan, kecuali kita hidup di negeri antah-berantah yang tak memiliki adat-istiadat tentunya.

Bosan juga mendengar para orang tuha bertanya di setiap kedatanganku pada acara pernikahan kerabat kami, "Kapan nyusulnya?". Lucu juga membaca tulisan humor seseorang di networking web twitter, konon ceritanya ia bosan jika di setiap pernikahan rekannya, para orang tuha suka bertanya kapan nyusulnya, maka...ia berencana di suatu acara pemakaman, ia akan bertanya kapan nyusulnya juga ke orang tuha tersebut. Pikiranku, wah...gue banget tuh!

Kadang aku berpikir, haruskah aku hengkang dari rumah agar aku lebih berani melangkah lebih jauh, tidak jalan di tempat, lebih bebas melebarkan sayapku, tidak serba khawatir akan anggapan orang-orang sekitarku terhadap pilihanku, dan juga agar aku lebih bisa menentukan sikap. Ataukah aku tetap diam manis di rumah, menunggu sang pangeran berkuda putih datang menjemputku di rumah kemudian mengatakan padaku, "Would you marry me?"