Selasa, Agustus 31, 2010

Sinetron penggugah hati saya

Ada satu sinetron yang sedang aku gemari. Sinetron ramadhan berjudul 'Surga Untukmu' yang tayang setiap hari di Indosiar pada pukul 19:30 Wita. Sinetron ini bercerita tentang seorang ustadz beristri dua. Bukan karena saya penganut poligami, bahkan 'poligami' itu bukan gue banget (istilahnya), melainkan karena alur ceritanya yang berbeda dengan sinetron-sinetron kebanyakan, didukung oleh para 'bintang' yang sangat mendalami karakter peran yang sedang dimainkan.

Aku sudah menyukai Zumi Zola sejak aku masih duduk di kelas 1 SMA, sewaktu ia menjadi bintang video klip nya Nadila, 'Satu dari hatiku'. Kebetulan pula ia menjadi tokoh sentral di sinetron 'Surga Untukmu'. Senyumnya manis banget, dan karakternya pas banget dengan sosok Fahmi. Yang membuat aku berkesan saat Fahmi memberanikan diri untuk mengutarakan perasaan cintanya pada Halimah, janda beranak dua yang awalnya terpaksa ia nikahi demi menghindar dari fitnah.
Fahmi:"Ada satu hal yang ingin aku utarakan sejak lama namun aku belum memiliki keberanian." -berbicara dengan sangat hati-hati-
Halimah:"Apa itu Mas?" -sedikit heran-
Fahmi: "Halimah, aku mencintaimu.-jeda-. Apa Mbak juga merasakan hal yang sama?" -penuh harap menunggu jawaban-
Halimah: "Tak perlu diragukan lagi Mas."
Fahmi: -tersenyum lega-
Halimah: "Ada satu permintaan saya Mas." -berbicara berhati-hati-
Fahmi: "Apa itu Mbak?" -dagdigdug-
Halimah: "Tolong jangan panggil saya Mbak, saya kan istri Mas Fahmi."
Fahmi: -tersenyum lega- "Baiklah Halimah."

Kilasan dialog yang membuat saya terharu, sangat terharu! Bahkan ketika saya menceritakannya kembali kepada Mami saya, suara saya terdengar bergetar, air mata saya nyaris jatuh. Belum ada satu sinetron pun yang bisa membuat saya begitu terharu. Sedikit mengingatkan saya pada konflik rumah tangga poligami film 'ayat-ayat cinta' yang juga membuat hati saya begitu tersentuh.

Sekedar menikmati. Namun jika ada seorang pria yang bertanya pada saya, "Apa kamu bersedia dipoligami?", sudah pasti jawabannya, "NO WAY!"

Tulisan ini saya publish sekedar menyuarakan hati saya yang masih sangat 'bergetar' membayangkan cuplikan adegan Fahmi dan Halimah tadi, lembut tetapi 'dalam'. Jadi ngefans sama penulis skenario dan sutradaranya nih! Semoga saja pada saat rating naik, cerita tidak dipanjang-panjangin sehingga menjadi amburadul-acakadut. Dan sebagai saran saja, tolong si Rubiah jangan dibuat terlalu jahat bak 'iblis' gitu, karena bisa merusak cerita, selain itu hilangkan hal-hal yang berada di luar logika seperti: Rubiah tidak bekerja, tapi kenapa dia bisa memiliki uang banyak untuk membayar orang-orang guna mencelakakan Ranum? Buat senyumnya Zumi Zola, I loph u pul dah! ^_^

Cuplikan soundtrack sinetron (termasuk jadi favorite saya juga): :"Subhanallah...aku mencintainya...subhanallah...aku menyayanginya...dari ufuk timur hingga ke barat...slalu di hatiku..."

__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com

Minggu, Agustus 29, 2010

Saya yang pegang kendali !!!

Baru-baru ini saya mendapat kabar bahwa teman saya seperjuangan dulu sedang hamil. Kabar ini tentu sangat membahagiakan jika teman saya ini berada dalam ikatan pernikahan. Namun kenyataannya adalah sahabat saya masih dalam kondisi sama-sama bebas merdeka, belum ada ikatan apapun. Huru-hara sudah pasti yang pertama kali pasangan itu rasakan sebelum akhirnya merasa lega dan bahagia, sedikit berbeda dengan pasangan-pasangan yang sudah terlebih dahulu terikat dalam jalinan kasih yang sah secara agama maupun hukum.

Ada satu pertanyaan yang selalu muncul dalam benak saya. Apa untuk dinikahi secara resmi oleh seorang pria, seorang wanita muda harus hamil terlebih dahulu? Hampir semua sahabat wanita saya menikah dalam kondisi 'membawa tambur'. Kenyataannya adalah saya masih single, dan pernah berpacaran beberapa kali, belum sampai ke jenjang pernikahan sudah 'bubar jalan' duluan. Beda dengan kawan-kawan saya yang 'sudah pasti' dinikahi karena kondisinya sedang hamil.

Pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya oleh saya. Hidup ini adalah pilihan. Dan pilihan itu adalah kualitasmu. Saya memilih untuk tidak menghamilkan diri, saya memilih untuk tetap bebas dengan pilihan saya (dalam artian saya masih punya hak mutlak untuk memilih 'lanjut' atau 'stop'). Seorang sahabat lelaki saya pernah membuat pernyataan, "Harus 'dicoba' dulu, bisa hamil atau gak, kalau bisa ya baru kawin." (Pernyataan yang sungguh ketika itu membuat saya tercengang, saya yang ketika itu baru mulai mengenal kehidupan sebagai seorang mahasiswi).

Pacar pertama saya di kampus adalah seorang pria yang cukup diidolakan oleh sahabat-sahabat wanita di kampus saya. Ia seorang yang berprestasi, cakep, tinggi, berpenampilan rapi dan identik dengan motor RGR-nya. Kesannya cowok banget. Sayangnya kami berdua berbeda keyakinan. Saya sudah mengenal keluarganya dengan baik, lingkungan tempat tinggalnya dan kawan-kawannya. Kami saling mencintai. Namun suatu hari ada satu hal yang tanpa sengaja ia utarakan, dan secara 'kepercayaan', apa yang selama ini saya 'yakini', telah menyinggung hati saya. Ia mengucapkan hal yang sangat sensitif. Syukurnya 'hak veto' masih saya pegang, saya memilih untuk meninggalkannya. Saya sadar, bagaimanapun kami 'berbeda' dan tak dapat bersatu.

Sepanjang perjalanan kasih teman-teman saya, masih dapat disyukuri tidak ada yang berakhir tragis. Para pria tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya, dan akhirnya menikah, membangun bahtera rumah tangga tanpa menoleh ke belakang lagi. Itulah yang saya namakan berakhir 'lega dan bahagia', walau ada beberapa diantaranya yang berakhir dengan kata 'lega' saja (karena ada yang sekedar bertanggung-jawab padahal cinta sudah pupus).

Sahabat-sahabat saya sering bertanya, "Kamu kapan nyusulnya?". Sebagai wanita, saya tentu juga ingin menikah dan merasakan ada janin yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam rahim saya. Saya tetap berikhtiar dan menanti 'jodoh' itu datang pada saya. Yang saya pegang adalah hak mutlak untuk memutuskan. Yah, hidup ini adalah pilihan. Dan pilihan itu adalah kualitasmu. Saya memilih untuk tidak menghamilkan diri, saya memilih untuk tetap bebas dengan pilihan saya (dalam artian saya masih punya hak mutlak untuk memilih 'lanjut' atau 'stop').

Wanita spesial itu adalah Mamiku

Aku hanya memiliki satu orang mami, tapi mami memiliki 'banyak anak' dari penjuru tempat di Indonesia. Aku terlahir sebagai anak kedua, mami pernah melahirkan tiga tahun sebelum aku dilahirkan, namun takdir tidak mengijinkan kakak perempuanku untuk mengenal dunia lebih lama, beliau meninggal 15 hari setelah dilahirkan. Mami merasa sangat terpukul dan hampir kehilangan kesadarannya. Namanya 'Citra Revalusi', mami memajang puisi tentangnya di dalam sebuah bingkai dan memajangnya di ruang keluarga. Aku membaca puisi itu dan sangat menyukainya, sampai usiaku ke 10 aku tidak melihat puisi itu di dinding ruang keluarga kami lagi, mungkin mami sudah tidak ingin mengingat hal-hal yang bisa membuatnya bersedih dan tidak ingin aku ikut terobsesi dengan sosok Kakak Citra, atau mungkin juga karena aku sudah memiliki seorang adik laki-laki yang walau bukan lahir dari rahim mami, namun sudah memiliki ikatan bathin yang sangat kuat dengan kami sekeluarga sehingga mami memutuskan untuk 'menatap jauh ke depan' dan 'berhenti menoleh ke belakang'.

Mami mengadopsi adikku itu sejak usianya masih 15 hari dan usiaku sudah jalan 8 tahun, kulitnya hitam, pipinya tembem, dan matanya sangat besar. Seperti coklat pada GERY CHOCOLATOS; warnanya yang hitam namun rasanya sangat manis dan menggiurkan, begitu lucunya adikku itu. Sungguh kontras jika bersanding denganku. Mami sangat menyayanginya. Dua kali mengalami operasi caesar membuat dokter melarang mami untuk melahirkan lagi karena bisa sangat beresiko bagi mamiku. Sebelum menikah dengan mami, papa sudah pernah menikah dengan wanita keturunan Tiong Hoa juga dan memiliki seorang anak lelaki. Kakak lelakiku itu usianya cukup jauh dariku. Mami juga menganggap kokoku itu anaknya sendiri. Mami sangat bangga mengatakan bahwa ia memiliki tiga orang anak, hidupnya lengkap memiliki; seorang anak tiri, seorang anak kandung, dan seorang anak angkat. Bahkan kokoku itu telah memberi mami dan papa empat orang cucu.

Mami sangat tahu mengkondisikan dirinya sebagai seorang ibu, bahkan semua ponakkannya memanggil mami dengan sebutan 'mami', bukan 'tante' seperti yang pada umumnya digunakan oleh para ponakkan terhadap bibinya. Itu yang membuatku sangat menyayangi mami dan selalu menyelipkan nama mami di dalam doaku, seperti mami selalu menyelipkan nama anak-anaknya di dalam doanya. Kuingat betapa tabahnya mami saat seorang wanita mencoba merebut papa, tidak terselip sedikitpun benci dari pandangan matanya, mungkin itu pula yang membuat papa sangat mencintai mami.

Mami bisa segalanya. Masakan mami yang 'is the best' (tiada duanya) baik soal appetizer, main course, apalagi dessert. Mami yang ahli soal renovasi rumah, bisa tukang-menukang, bantuin papa benerin genteng, pintar design baju dan menjahit, pintar 'make up artist', ahli bercocok tanam, pandai menulis ceerita, pintar politik, juga pengetahuan umum yang bahkan lulusan S2 tidak mengetahuinya. Sejak aku mengenalkan mami dengan facebook, di waktu-waktu senggang mami selalu menyempatkan 'mengintip' profilenya demi menyapa 'anak-anaknya' dari berbagai penjuru tempat di Indonesia. Di facebook, 'anak-anak mami' itu memanggil mami dengan sebutan 'bunda'. Mereka sangat menyukai 'update status' mami yang selalu pintar, bijak dan penuh nasehat. Betapa bangganya aku untuk mengatakan bahwa sosok itu adalah mamiku. Aku sayang mami.


Keterangan Foto: Aku dan Mami