Sedikit klarifikasi atas cerita yang sempat aku tulis berjudul "Punk Rock Jalanan" sekitar satu setengah tahun yang lalu di blogku yang lain: http://annisa_pinguin.blog.friendster.com
Memang aku bukanlah artis (pasti kalian berpikir, "Sok ngartis, klarifikasi segala!"), bukan selebritis, maupun bukan Rani Juliani yang mendadak jadi selebritis karena kasus Antasari Azhar dan Nasrudin Zulkarnain,...("Siapa sih Annisa Tang itu?", pasti banyak yang tak tahu dan merasa tak penting untuk mengetahui. Begitu sudah mengetahui, sekiranya beginilah komentar mereka, "Ah, ternyata si pinguin itu, ga penting."),...dan aku juga tak ingin mendadak menjadi selebritis yang membuat heboh dunia maya, apalagi dunia media (ampuuun...), hanya karena kisah tak penting yang aku buat ini. Berikut aku sertakan secara utuh kisah itu, dan kisah ini memang ternyata banyak mengundang komen-komen positif (ada juga sih beberapa yang mencercanya), terutama dari kalangan anak punk itu sendiri.
“Punk Rock Jalanan”
(kisah ini Terinspirasi dari kisah nyata)
Tersebutlah seorang pemuda berusia 15 tahun. Namanya Tigor bersekolah kelas 3 SMP
Kartika Balikpapan. Lahir di keluarga baik-baik. Konon ceritanya keluarganya yang
tadinya kaya-raya mendadak jatuh miskin karena perusahaan sang ayah yang bergerak
di bidang kontraktor sipil gulung tikar. Di tengah hobinya bergabung dengan klub
BMX, Tigor tidak dapat memenuhi kebutuhannya untuk menyalurkan hobinya itu lebih
dalam…yaitu memakai barang-barang bermerk di tubuhnya, membeli ornamen-ornamen
untuk sepedanya, dan sebagainya. Belum lagi ejekan dari teman-teman satu klub yang
selalu diterimanya. Sementara di satu sisi, terdapat sebuah klub juga yang menamai
diri mereka ‘street guys‘. Dalam jiwanya yang labil, Tigor akhirnya membelot.
Anak-anak ‘street‘ jiwa kekeluargaannya lebih besar dibanding anak-anak BMX yang
berasal dari keluarga ‘berada’.
Tigor mulai merokok, bahkan untuk anak seusianya
yang masih tergolong belia, ia sudah mulai mengenal alkohol. Orang tuanya tak
henti-henti menasehatinya, tapi doktrin punk terlalu kuat…isinya antara lain
“Nazi fuck…polisi anjing…kita bukan budak, jangan mau disuruh-suruh…kami
anti kemapanan!!!”. Orang tuanya hanya bisa mengurut-urut dada saja ketika Tigor
membantah sewaktu disuruh membuang sampah rumah tangga mereka di tempat pembuangan
sampah yang tidak begitu jauh dari rumahnya. Hingga suatu waktu sang ayah marah
besar ketika Tigor membentak beliau hanya karna disuruh pergi ke warung makan.
Kemarahan sang ayah membuat Tigor begitu sakit hati karena Tigor belum pernah
melihat sang ayah semarah itu kepadanya. Tigor pergi dari rumah tanpa membawa baju
ganti satupun. Ia pergi bersama kumpulan barunya yaitu ‘street guys‘ ato lebih
kita kenal dengan nama anak punk yang sesungguhnya keberadaan mereka sangat
meresahkan masyarakat sekitar dan selalu membuat para polisi jengkel.
Di sinilah petualangan Tigor dimulai. Bersama kumpulan barunya ia ikut mengamen di
lampu merah, jika lapar dan tidak cukup uang ia mentegakan dirinya mengorek-ngorek
tempat sampah demi mengobati perutnya yang sangat kelaparan. Sementara ayah dan
ibunya menangis berhari-hari di rumah, berharap Tigor, anak laki-laki satu-satunya
mereka segera pulang ke rumah. Tigor memiliki seorang kakak perempuan yang
kemudian diasuh oleh tantenya setelah mereka jatuh miskin.
Akhirnya suatu saat ibunya mendapati anak lelakinya itu sedang mengorek sebuah tong sampah. Kulitnya
bertambah hitam, tubuh jangkungnya terlihat semakin kurus, rambutnya yang hitam
legam bagus berubah menjadi model mohawk yang tak beraturan dan berwarna merah
yang entah mungkin dari cat rambut murahan. Ibunya menangis melihat anaknya itu
dan memintanya pulang ke rumah. Tapi Tigor tetap membantah sampai akhirnya
temannya membujuknya untuk pulang…dan pulanglah ia.
Ayahnya mulai mengalah padanya. Motor satu-satunya yang tersisa di rumah itu khusus untuk Tigor pakai.
Tigor mulai mau sekolah lagi, tapi di akhir pekan, tak ada yang bisa menghalangi
langkahnya untuk pergi ke Samarinda, 2 setengah jam dari Balikpapan waktu
tempuhnya, bersama anak-anak punk. Namun ayah dan ibunya tak begitu khawatir
karena di Samarinda banyak tante-tante dan sepupunya.
Sampai akhirnya ia berkenalan dengan seorang gadis kelas 3 SMP di SMPN 2 Samarinda bernama
Liza. Kebetulan Liza adalah teman satu sekolah sepupunya. Tigor pulang ke
Balikpapan dengan hati berbunga-bunga. Bertambah rajinlah ia berkunjung ke
Samarinda karena gadis bernama Liza ini. Orang tuanya sungguh khawatir sesuatu
terjadi padanya sepanjang perjalanan lintas kota itu.
Akhirnya kelulusan tiba juga. Tigor masuk ke STM Swasta satu-satunya di Balikpapan, jurusan elektro.
Belum selesai cobaan yang harus Tigor dan keluarganya terima, berawal
dari kecurigaan kedua orang tuanya kalau si anak buta warna karena Tigor
sangat susah membedakan antara warna merah muda dan hijau, ditambah lagi dengan
sang ayah adalah seorang yang buta warna. Akhirnya keluarga membawanya ke
puskesmas, namun kata puskesmas hanyalah kurang latihan. Oleh karena itu kedua
orang tuanya tetap nekad memasukkan ke STM yang terdekat dari rumahnya.Namun
karena sudah dilatih berulang-ulang si Tigor belum juga bisa menghafal warna-warna
tersebut, dengan bantuan sang tante, kemudian Tigor kembali untuk melakukan pemeriksaan dan dibawa ke dokter
spesialis mata. Tigor dinyatakan buta warna parsial (60%). Bermaksud baik, sang ibu
membawa surat pernyataan dari dokter itu ke pihak sekolahnya agar anaknya
dipindahkan jurusan ke jurusan otomotif saja. Ternyata pihak sekolah malah
beranggapan bahwa anak buta warna sama sekali tidak bisa masuk di STM di jurusan apapun, jadi lebih
baik pindah ke sekolah umum saja. Padahal STM tersebut sebelumnya tidak melakukan
test buta warna terhadap calon-calon siswanya maupun meminta surat pernyataan
tidak buta warna terlebih dahulu dari para calon siswanya, seperti yang dilakukan
oleh STM negeri.
Di sekolah teman-teman memperlakukannya seperti orang yang
dikucilkan, sikap sang guru juga kurang baik kepadanya (karena Tigor memang bukan
siswa teladan di sekolahnya). Akhirnya Tigor membuat keputusan untuk berhenti
sekolah. Ia hanya mempunyai ijazah SMP dan tambah menjadi-jadi kehidupan malam
dijalaninya di usianya yang baru 16 tahun itu.
Suatu hari yang paling membuat orang tuanya shock adalah Tigor yang baru pulang dari Samarinda, membawa Liza
pacarnya ke rumah. Saat itu memang sang kakak sedang nginap juga di rumahnya.
Ketika ditanya oleh orang tuanya, katanya si Liza akan menginap semalam, mau
jalan-jalan dulu di Balikpapan, tidurnya bareng kakaknya saja. Ketika orang
tuanya menanyai Liza apakah sudah ijin kepada orang tuanya, Liza bilang sudah.
Walau masih sedikit curiga karena Liza masih menggunakan seragam pramuka, namun
orang tua Tigor cukup lega karena menurut Liza ia sudah meminta ijin sebelum ke
Balikpapan.
Sampai kemudian terjadi kehebohan besar. Tantenya Tigor telpon ke rumah
menanyai Tigor tentang keberadaan Liza karena orang tua Liza membuat ribut di
rumah tantenya tersebut. Ketika mengetahui Tigor membawa Liza ke Balikpapan,
tantenya langsung menyuruh mamanya Liza berbicara sendiri kepada ibunya Tigor. Ibu
meminta mamanya Liza untuk tidak terlalu khawatir, namun mamanya Liza tetap
bersikukuh meminta alamat Tigor di Balikpapan.
Di tengah tidur pulasnya, Liza, jam 4 subhu, orang tuanya menjemput menggunakan taxi argo. Mereka tampak sangat
khawatir karena Liza adalah anak semata-wayang mereka. Akhirnya Liza dilarang orang tuanya menemui Tigor lagi.
Tigor datang ke Samarinda sudah tidak disambut baik lagi oleh
keluarganya Liza. Orang tua Liza tidak suka Tigor bergaul dengan Liza karena Tigor
hanyalah seorang yang lulusan SMP, dan seorang punker. Liza berasal dari keluarga
kaya.
Tigor patah hati berat dengan Liza. Tigor mencoba untuk bunuh diri, namun teman-teman satu kumpulannya
mencegahnya. Kehidupan Tigor tambah lekat pada
kehidupan punk. Waktunya habis untuk mengamen dan berkumpul bersama anak-anak punk
di jalanan. Puskib adalah tempat berkumpulnya mereka. Lampu merah adalah tempat
mereka mengamen. Lagu andalan anak-anak punk berjudul “Punk Rock Jalanan”. Lagu itu selalu Tigor nyanyikan saat
mengamen, karena Tigor merasa bahwa lagu itu sangat sesuai untuknya, dia memang seorang “Punk Rock Jalanan”.
Sewaktu orang tuanya memohonnya melepaskan diri dari punk, Tigor berkata, “Bu,
mereka juga keluargaku. Sewaktu motorku kehabisan bensin di kilometer 20-an, di
tengah hutan sana, aku menghubungi seorangpun temanku tak ada yang bisa datang
menolongku, tapi ketika aku menelpon Dedy, salah seorang teman punk, semua anak
punk Balikpapan datang menghampiriku, jalan kaki mereka dari kota demi aku,
menemaniku mendorong motor sampai aku bisa mengisi bensin motorku. Aku menangis dalam hati
saat itu. Karena sebenarnya saat itu aku sudah ingin lepas dari mereka. Saat Liza meninggalkanku, punk tidak
pernah meninggalkanku.”
Orang tuanya terharu dan tidak sanggup berkata apapun lagi.
Punk memang meresahkan masyarakat, mungkin karena mereka
terkesan urakan, tapi sikap kekeluargaan mereka terhadap sesamanya patut diacungi
jempol. Begitulah kisah Tigor, Punk Rock Jalanan.
Catatan: It’s not a true story, just inspiration from a true story
Aku memang telah menyelipkan catatan di akhir kisah itu, yang menyatakan kalau ini bukan kisah nyata! Tokoh dan setting tempat hanyalah fiktif belaka, jangan dipikir beneran lowh! Hanya memang ada tertulis bahwa kisah itu terinspirasi dari kisah nyata,...maksudnya adalah, heheee...(sedikit usil nih), karena lagu yang entah dikarang oleh siapa berjudul "Punk Rock Jalanan"-lah yang membuatku menulis kisah ini, aku juga mendapatkan lagu itu dari rekan, dengan nama penyanyinya adalah Ucil (Aku juga menampilkan Mp3 Punk Rock Jalanan dan liriknya (namun tidak utuh, baru kuketahui belakangan ini kalau lagu itu ada sambungannya) pada blogku yang di friendster itu. Kenapa aku tulis terinspirasi dari kisah nyata, karena ada kisah sekitarku yang mirip-mirip seperti itu (hanya berdasarkan sistem 'dengar-dengar' semata.
Jadi aku mohon maaf sebelumnya jika ada pihak-pihak yang merasa dirugikan oleh ditulisnya kisah ini. Dan aku tegaskan sekali lagi, nama tokoh, lokasi dan setting (tempat, nama sekolah, dsb), hanyalah karangan belaka. Kenapa SMP Kartika yang saat itu ada dalam pikiranku, karena kebetulan ada adik sepupuku yang bersekolah di SMP tersebut. Aku juga mohon maaf seutuhnya jika ada yang benar-benar menyakini kebenaran dari kisah ini.
Kalian semua pasti bertanya, kenapa aku begitu mempermasalahkan cerita karyaku yang hampir aku sendiri lupakan (karena blogku itu sendiri sudah ga pernah aku update, oleh karenanya aku baru-baru membuat blog lagi di blogger ini). Aku hanya tak ingin kisah ini menimbulkan kehebohan dan kecemasan yang berlebihan di kedepannya, seperti 'kedatangan Miyabi' di Indonesia baru-baru ini yang justru semakin meningkatkan kepopulerannya.
Karena aku agak kaget saja ketika baru-baru ini adik sepupuku yang kebetulan browsing di sebuah situs mengenai 'sejarah SMP Kartika', menemukan cerita ini (cerita yang nyaris aku lupakan), dan ketika ia menceritakannya padaku, terkaget-kagetlah aku karena ternyata cerita itu adalah cerita yang pernah aku tulis dan publish di blog. Apalagi dia publish kembali kisah itu melalui facebook dan tag aku ke dalam cerita itu. Yang lebih bikin aku kaget, ketika adikku itu berkata, "Tapi itu kayaknya bukan dari blog kakak kok, masa iya kakak?"
Sangking penasarannya, aku coba browsing di internet dengan kata kunci 'Sejarah SMP Kartika Balikpapan' (seperti sebelumnya adikku browsing), dan benar saja, aku menemukan kisah itu dimuat dari berbagai blog,...bukan hanya satu blog yang memuatnya, terdapat beberapa blog yang memuatnya juga. Sekarang aku hanya bisa berharap agar semua orang segera melupakan kisah yang tak penting itu sebelum menjadikannya beban dalam hidupku.
Dan satu lagi...aku tak pernah menyebutkan kalau lagu "Punk Rock Jalanan" itu adalah karya Tigor (wong tokoh Tigor saja hanya fiktif), jadi bagi pengarang dan penyanyinya yang beneran...jangan marah ya??? Mohon maaf sebelumnya... ^_^
BalasHapusoooh...ternyata cuma imajinasi saja...slamat bermimpi!!!
BalasHapus