Minggu, Oktober 25, 2009

"Would you marry me?"

Berada di antara mereka yang telah menikah, aku merasa sedikit minder, mengingat usiaku yang sudah seperempat abad. Bukan hanya karena aku belum menikah, melainkan karena pacar pun aku belum punya. Bukan karena aku terlalu pilih-pilih, melainkan memang belum ada pria yang benar-benar dekat denganku saat ini. Di samping itu, kedua orang-tuaku yang 'serba berlebihan' membuatku selalu takut mau menjalin hubungan dengan seorang pria. Padahal mamiku paling suka mengatakan hal-hal yang sensitive bagi wanita seusiaku yang membuatku semakin merasa minder, entah mengataiku 'jomblo forever'-lah, 'stres karena jomblo'-lah, dan sebagainya, disamping itu juga selalu mendesakku untuk segera menikah dan ingat sama umur. Bingung juga dengan sikap mamiku. Apalagi tak ada lelaki 'yang beres' di mata papaku. Lama-lama aku berpikir, mungkin mereka memang senang kalau anaknya tak ada yang menikah. Walau selalu cool tampangku, tapi rasa bimbang ada juga terbersit di hatiku.

Pernah suatu waktu papa berkata pada adik lelakiku ketika adikku meminta uang untuk pergi malam mingguan bersama teman wanitanya, "Kalau tidak ada uang, tak usah pacaran dulu!". Kata-kata itu mengingatkanku pada kakak tiriku (anak papaku dari Ibu yang lain), yang telah menikah (dalam keadaan miskin), bahkan telah memiliki 4 orang anak! Dan juga masih selalu ingin melibatkan keluarga kami dalam keadaan miskinnya, untungnya kami juga hidup tak serba berlebihan sehingga si doi tak bisa terlalu merepotkan keluargaku. (Kata-kata papaku itu lebih pantas disampaikan pada kakak lelakiku itu sepertinya)

Kembali lagi padaku. Impian seorang wanita untuk segera menikah adalah tentu saja kalau bukan masalah memiliki bayi, selain karena risih rong-rongan para nenek-nenek sok tahu di sekitarku. Saat ke Bali bulan Mei kemarin, aku mengunjungi seorang kawanku sejak SMU sampai sama-sama berkuliah di Bali hingga akhirnya ia menetap di Bali dan menikah dengan seorang bule Australia. Ia telah memiliki seorang bayi perempuan yang sangaaat lucu. Melihat bayinya, terbersit rasa iri di hatiku. Belum lagi berjumpa dengan sahabatku semasa kuliah yang telah memiliki dua orang anak balita laki-laki yang tampan-tampan. Sempurnalah hidup mereka karena telah menjadi seorang ibu.

Harusnya aku memang tidak perlu merasa terlalu malu akan status lajangku, mengingat aku adalah seorang wanita pekerja, namun impian terbesar dalam diriku adalah merasakan menjadi seorang ibu. Memiliki sepasang anak, lelaki dan perempuan, sudahlah cukup bagi diriku. Membesarkan mereka dengan kasih sayang, mengajarkan berbagai hal dalam hidup ini, menjadikan mereka anak-anak yang penuh percaya diri, dan sebagainya. Tapi tak mungkin juga semua dilewati tanpa menempuh jenjang pernikahan, kecuali kita hidup di negeri antah-berantah yang tak memiliki adat-istiadat tentunya.

Bosan juga mendengar para orang tuha bertanya di setiap kedatanganku pada acara pernikahan kerabat kami, "Kapan nyusulnya?". Lucu juga membaca tulisan humor seseorang di networking web twitter, konon ceritanya ia bosan jika di setiap pernikahan rekannya, para orang tuha suka bertanya kapan nyusulnya, maka...ia berencana di suatu acara pemakaman, ia akan bertanya kapan nyusulnya juga ke orang tuha tersebut. Pikiranku, wah...gue banget tuh!

Kadang aku berpikir, haruskah aku hengkang dari rumah agar aku lebih berani melangkah lebih jauh, tidak jalan di tempat, lebih bebas melebarkan sayapku, tidak serba khawatir akan anggapan orang-orang sekitarku terhadap pilihanku, dan juga agar aku lebih bisa menentukan sikap. Ataukah aku tetap diam manis di rumah, menunggu sang pangeran berkuda putih datang menjemputku di rumah kemudian mengatakan padaku, "Would you marry me?"

1 komentar: