Rabu, Agustus 24, 2011

Mencintai itu ikhlas

Aku ingat pertama kali ketika kita berkenalan. Aku mengantarkan berkas ke meja salah seorang manajer, dan saat itu, hanya ada kamu satu-satunya yang berada di sekitar ruangannya. "Tolong sampaikan ya ke ibu kalau aku  ada menaruh surat yang perlu ditanda-tangani.". "Oke.", katamu ketika itu. Kemudian ketika aku sudah berbalik badan, kamu memanggilku lagi, "Dari siapa ya?". "Annisa.", kataku sambil tersenyum.

Kemudian ketika aku melintas di hadapanmu, kamu selalu menggoda dengan, "Ehm..." yang diiringi dengan godaan kawan-kawanmu yang lain. Walau hanya sekedar candaan, tapi aku selalu menanggapinya dengan spesial jika yang melakukannya adalah kamu. Kemudian aku mencari tahu tentang dirimu yang kemudian kusadari bahwa dirimu sudah memiliki seorang kekasih, melalui akun facebook-mu.

Seorang pria yang kebetulan tinggal di dekat rumahku, memintaku untuk menjadi istrinya melalui seorang yang dipercaya, seorang ustadzah, yang kemudian beliau menyampaikannya kepada orang tuaku. Mamiku memintanya untuk masuk dalam kehidupanku sendiri dan memberi akun facebook-ku kepadanya melalui sang ustadzah. Kemunculannya di sebuah message di facebook membuatku sedikit heran, karena aku belum pernah berkenalan dengannya sebelumnya. Akhirnya kami menjadi sedikit akrab, dan bertukar nomor ponsel. Beberapa hari kemudian, aku baru mengetahui maksud dan tujuannya melalui mami. Aku menanggapinya dengan cukup baik, toh aku juga sedang tidak memiliki seorang kekasih.

Pertama kali bertemu, aku cukup tertarik padanya. Dia tidak tampan, kulitnya hitam, hanya beberapa senti lebih tinggi dariku, ... yang sebenarnya dari semuanya dia bukan tipeku ... tapi dia seorang yang beragama, itu kesan pertama yang membuatku menyukainya, membuat senyumnya dengan deretan giginya yang putih dan rapi itu terlihat sangat manis.

Suatu saat seorang pria muncul dan memintaku menjadi temannya di BBM. Merasa tak mengenalnya, aku menyapanya. Dia membalasnya, orangnya cukup kocak, kami berbalas-balasan candaan yang tidak 'garing' menurutku, hingga kemudian kuketahui kalau ia adalah pria di kantorku. Ternyata ia seorang yang sopan dan sangat menghormati wanita.

Saat aku pergi ke Tenggarong, ada dua pria yang rajin berhubungan denganku melalui BBM. Pria tetanggaku itu dan teman kantorku. Sepulangnya dari Tenggarong, aku berencana pergi berdua dengan pria tetangga rumahku, kami pergi menonton di XXI. Sementara teman kantorku mengajak nonton juga, aku sudah telanjur berjanji dengan pria pertama.

Berdua dengan si doi membuatku lebih mengenalnya. Ia bukan tipe pria yang aku inginkan. Yang aku inginkan adalah pria yang membuatku merasa nyaman dan dilindungi, namun semua itu tak ada pada dirinya. Sebagai wanita, aku merasa 'remeh' di hadapnya. Syukurlah teman kantorku belum kapok mengajakku nonton, selang sehari, aku pergi nonton berdua dengan pria kedua. Sangat berbeda, kesan yang aku dapat, aku merasa nyaman, walau aku tidak bisa sepenuhnya menunjukkan perasaanku padanya, sungguh rasa suka yang ada di hatiku ini bukanlah 'permainan' belaka. Aku sangat menyukainya.

Dari kawannya yang lain aku mengetahui bahwa ia baru saja putus dari kekasihnya. Aku sempat berpikir, apakah aku adalah pelariannya saja ? Belum lagi bibirku mengeluarkan kata-kata, hatiku sudah menjawab, "Kalaupun pelarian, so what ? Bukannya cinta tak harus memiliki ?"

Hampir tidak pernah aku menghubungi pria tetanggaku lagi. Jika pun doi menghubungiku, aku selalu menjawabnya seperlunya. Yang aku lakukan adalah terus menunggu, menunggu datangnya cinta yang tulus, yang mensyukuri segala kelebihanku dan menerima segala kekuranganku, dari pria yang juga aku cintai.

Masih sering aku melirik ke dalam akun facebook-nya, masih terpampang fotonya dengan wanita di masa lalunya itu, putih dan cantik. Aku bisa memiliki harapan akannya, dia juga sah-sah saja memiliki harapan akan mendapatkan kembali cinta dari wanita masa lalunya itu. Walaupun pria yang aku cintai tidak mencintaiku dan hanya menganggapku sebagai 'pelarian' sementara, aku tak akan pernah menyesal, karena yang aku tahu hanyalah aku mencintainya, dan mencintai itu berarti ikhlas dengan segala sesuatunya. Aku ikhlas mencintainya, dan ikhlas berarti 'bebas tuntutan'. Hanya saja aku tetap memiliki satu harapan, berharap suatu saat kamu akan menyadari kehadiranku, dan mengetahui bahwa aku benar-benar mencintaimu.

1 komentar: