Jumat, Desember 02, 2011

Sudah jatuh tertimpa 'adik ipar' ... ya sudahlah ...

Lima hari yang lalu aku mendapat kabar dari papaku bahwa adik lelakiku satu-satunya akan menikah. Tentu saja agak sedikit mengejutkan mengingat adik lelakiku itu belum memiliki penghasilan tetap dan usianya masih sangat belia, dalam artian ia belum siap lahir bathin. Calon istrinya pun tidak jelas aku dan keluarga ketahui, dari negri antah-berantah mana ia berasal. Cerita demi cerita mengalir dari papa bahwa pacarnya dalam kondisi hamil dua bulan. Hati sedikit bertanya mengingat adikku itu berbeda kota dengan pacarnya.

Berbagai jalan 'pembuka pikiran' telah dilakukan oleh mami dan papa untuk mengingatkan kepada adik lelakiku itu tentang perempuan yang akan jadi istrinya, namun adikku telah sangat yakin dan percaya seperti apa perempuan yang tengah jadi pacarnya itu. Akhirnya mami menerima dengan lapang karena adikku sudah yakin akan pilihannya dan yakin akan anak dalam kandungan pacarnya itu. Adik lelakiku itu bukanlah adik kandung, ia adalah anak yang kami adopsi dari sebuah rumah sakit atas permintaanku ketika usianya baru 15 hari setelah dilahirkan, karena sang ibu yang ditinggalkan oleh suami tidak sanggup membiayainya.

Tentu saja bukan hanya mami dan papa yang pusing dengan calon mantu dan calon cucu, tetapi aku pun pusing dengan kehadiran calon adik ipar dan calon ponakkan, terlepas dari hal langkah-melangkahi, sesungguhnya aku merasa keberatan akan hadirnya calon adik ipar yang sedang hamil. Mengingat adikku itu sekedar pulsa pun masih sering menodongku, makan di warung pun masih sering aku traktir. Ini akan menjadi 'pernikahan dini' yang kurang menyenangkan bagiku, tentu saja. Akhirnya aku menegaskan pada mami dan papa, "Ini adalah perbuatan adikku, jadi sepenuhnya aku lepas dari tanggungan apapun.", dan mami menyetujuinya.

Dua hari yang lalu adik lelakiku itu pulang dari Samarinda, ia membawa calon istrinya itu serta. Ia menghampiriku ke dalam kamar dengan cengiran yang bagiku 'nggak banget', sibuk menarikku untuk keluar dari dalam kamar untuk menghampiri calon istrinya itu, dan aku mengusirnya keluar dari kamarku. Rasanya menyebalkan melihat tampangnya yang tanpa rasa bersalah itu.

Esoknya aku berusaha mengorek informasi pada papaku sepulang kerja. Bertanya tentang pacar adikku itu, seperti apa dia. Dari papaku aku mengetahui bahwa pacar adikku itu kos di Samarinda sementara mamanya berjualan di Kutai, dan papanya pergi meninggalkannya dan mamanya. Sedikit simpati memang mendengar ceritanya. Tapi aku bukan tipe yang mudah diperdaya oleh orang lain. Dan kata papa, menurut cerita si Icha (nama pacarnya adikku), dokter bilang kalau detak bayi dalam kandungannya lemah.

Asyemmm, sedongkol-dongkolnya aku pada adikku, tapi aku bukan tipe yang cukup tega untuk menelantarkan seorang wanita yang sedang hamil. Akhirnya aku berkata dalam hati dengan pasrah, "Apapun yang akan terjadi,...ya sudahlah...".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar