Minggu, Agustus 29, 2010

Saya yang pegang kendali !!!

Baru-baru ini saya mendapat kabar bahwa teman saya seperjuangan dulu sedang hamil. Kabar ini tentu sangat membahagiakan jika teman saya ini berada dalam ikatan pernikahan. Namun kenyataannya adalah sahabat saya masih dalam kondisi sama-sama bebas merdeka, belum ada ikatan apapun. Huru-hara sudah pasti yang pertama kali pasangan itu rasakan sebelum akhirnya merasa lega dan bahagia, sedikit berbeda dengan pasangan-pasangan yang sudah terlebih dahulu terikat dalam jalinan kasih yang sah secara agama maupun hukum.

Ada satu pertanyaan yang selalu muncul dalam benak saya. Apa untuk dinikahi secara resmi oleh seorang pria, seorang wanita muda harus hamil terlebih dahulu? Hampir semua sahabat wanita saya menikah dalam kondisi 'membawa tambur'. Kenyataannya adalah saya masih single, dan pernah berpacaran beberapa kali, belum sampai ke jenjang pernikahan sudah 'bubar jalan' duluan. Beda dengan kawan-kawan saya yang 'sudah pasti' dinikahi karena kondisinya sedang hamil.

Pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya oleh saya. Hidup ini adalah pilihan. Dan pilihan itu adalah kualitasmu. Saya memilih untuk tidak menghamilkan diri, saya memilih untuk tetap bebas dengan pilihan saya (dalam artian saya masih punya hak mutlak untuk memilih 'lanjut' atau 'stop'). Seorang sahabat lelaki saya pernah membuat pernyataan, "Harus 'dicoba' dulu, bisa hamil atau gak, kalau bisa ya baru kawin." (Pernyataan yang sungguh ketika itu membuat saya tercengang, saya yang ketika itu baru mulai mengenal kehidupan sebagai seorang mahasiswi).

Pacar pertama saya di kampus adalah seorang pria yang cukup diidolakan oleh sahabat-sahabat wanita di kampus saya. Ia seorang yang berprestasi, cakep, tinggi, berpenampilan rapi dan identik dengan motor RGR-nya. Kesannya cowok banget. Sayangnya kami berdua berbeda keyakinan. Saya sudah mengenal keluarganya dengan baik, lingkungan tempat tinggalnya dan kawan-kawannya. Kami saling mencintai. Namun suatu hari ada satu hal yang tanpa sengaja ia utarakan, dan secara 'kepercayaan', apa yang selama ini saya 'yakini', telah menyinggung hati saya. Ia mengucapkan hal yang sangat sensitif. Syukurnya 'hak veto' masih saya pegang, saya memilih untuk meninggalkannya. Saya sadar, bagaimanapun kami 'berbeda' dan tak dapat bersatu.

Sepanjang perjalanan kasih teman-teman saya, masih dapat disyukuri tidak ada yang berakhir tragis. Para pria tetap bertanggung-jawab atas perbuatannya, dan akhirnya menikah, membangun bahtera rumah tangga tanpa menoleh ke belakang lagi. Itulah yang saya namakan berakhir 'lega dan bahagia', walau ada beberapa diantaranya yang berakhir dengan kata 'lega' saja (karena ada yang sekedar bertanggung-jawab padahal cinta sudah pupus).

Sahabat-sahabat saya sering bertanya, "Kamu kapan nyusulnya?". Sebagai wanita, saya tentu juga ingin menikah dan merasakan ada janin yang lahir, tumbuh dan berkembang dalam rahim saya. Saya tetap berikhtiar dan menanti 'jodoh' itu datang pada saya. Yang saya pegang adalah hak mutlak untuk memutuskan. Yah, hidup ini adalah pilihan. Dan pilihan itu adalah kualitasmu. Saya memilih untuk tidak menghamilkan diri, saya memilih untuk tetap bebas dengan pilihan saya (dalam artian saya masih punya hak mutlak untuk memilih 'lanjut' atau 'stop').

Tidak ada komentar:

Posting Komentar